Mendengar
kata candi ingatan kita pastilah tertuju pada dewi Durga (dewi Maut), dimana
yang terbayang pada otak kita ialah candi sebagai tempat pemakaman. Kiranya ini
tidak salah karena telah diketemukan bukti bukti bahwa di sekelililig candi
kalasan tepatnya di bagian lapik candi diperkirakan terdapat 52 buah stupa yang
dahulu ialah sebagai makam para pendeta yang setelah meninggal dan abunya
ditanam di bawah stupa. Candi yang berdasarkan catatan prasasti Kalasan
(Berbahasa Sansekerta, berhuruf Pre-Nagari/huruf yang lebih tua dengan Nagari,
yang pada umumnya dipakai untuk menulis dan mencetak bahasa Sansekerta)
didiraikan pada abad ke-8 ialah untuk memuliakan dewi Tara dalam tahun 700 caka
(778 M). memiliki kekhasan dimana Bangunan Candi tersebut ialah hasil dari kerjasama
dari dua wangsa (Sanjaya dan Syailendra) yang nota benne beragama Hindu dan
Buddha.
Mempelajari masa lampau sungguh sangat menyenangkan karena dapat
menjadika kita lebih bijaksana dalam melihat masa depan yang lebih baik
(Kuntowijoyo, 2001, Guna Sejarah Instirinsik, Pengantar
Ilmu sejarah. Bentang, Jogjakarta). Mengunjungi Candi Kalasan merupakan
pengalaman yang tiada duanya. Candi yang terletak di dusun Kalasan, Prambanan,
Sleman Yogyakarta ini memiliki beragam keunikan yang tidak dipunyai oleh Candi
lain mulai dari seni pahat baik dalam bentuk arca, relung, bilik, Kala, Mekara,
Gana, dan juga bentuk stuupa dan juga bentuk-bentuk sulurnya yang sangat halus
karena mendapat sentuhan dari badjralepa. Ini
merupakan penegasan corak khusus kebudayaan bangsa kita, agar kita lebih
mengenal watak bangsa sendiri dan juga paham akan diri sendiri, yang notabene
telah berabad-abad mengalami pengaruh baik yang datang dari sekeliling sendiri
maupun dari luar.
Walau memiliki tubuh yang tambun sebgai mana candi di Jwa tengah
pada umumnya, namun tidak terluhat gemuk karena bangunan candi terbagi atas
kaki, badan, dan kepala, dimana masing-masing terbagi menjadi tiga bagian
mendatar (perbingkaian bawah, batang dan perbingkaian atas). Terdapat empat
tangga yang menghubungkan batur yang dahulukala dikelilingi oleh pagar langkan,
yang mempunyai hiasan-hiasan berbentuk genta atau stupa diatasnya. Papan batu
yang ada di depan tangga sebelah timur bentuknya hampir menyerupai setengah
lingkaran, yang mirip “Moonstone” di depan tangga kuil
agama Buddha di India selatan terutama di Sailan, hal ini merupakan keunikan
tersendiri yang ada di Candi Kalasan
Peampil-peampil pada tubuh candi begitu lebarnya sehingga
masing-masing terdapat sebuah bilik. Pintu gerbang candi ialah terdapat pada
bilik di sebelah timur. Namun sekarang tidak bayak yang tinggal. Bilik yang
masih utuh ialah bilik sebelah Utara dan Selatan. Kaki candi hanya beberapa
saja yang yang masih terlihat jelas susunannya. Susunan kaki tersebut
diperindah dengan bingkai mendatar yang menonjol, setengah bulatan dan
sisiya merupakan semacam bantal sebagai tempat berdirinya candi. Bagian atap
candi sudah sangat rusak walau demikian kita masih dapat mengenali dimana
bentuk dasarnya yang bujur sangkar, dengan penampil-penampil sebagai penghubung
antara tubuh dengan atapnya. Diatasnya terdapat prisma segi delapan bersusun
menjadi pusat atas. Dahulunya diperkirakan pusat ini terdapat mahkota yang
besar. Keempat penampil tersebut mempunyai atap sendiri, dengan beralaskan
susunan dua kubus jang menempel pada prisma segi delapan sebelah bawah pusat
atap tadi. Dengan demikian tinggi seluruh candi tanpa stupa punjaknya kurang
lebih 24 Meter (A.J. Bernet Kempers., 1954, Cadi Kalasan dan Sari,
Jakarta, Dinas Purbakala Republik Indoesia dan Balai Buku Indonesia hlm.10)
Kepala Kala yang besar dan yang sering kita sebut sebagai
Banaspati (raja hutan) seakan-akan menggambarkan bahwa candi ialah lambang dari
hutan yang sunyi, tempat sang raja hutan itu berkuasa. Namun dapat kitaartikan
juga candi sebagai perlambang dari pegunungan yang tidak dapat lepas dari hutan
tadi. Dalam hutan dan juga pegunungan saling bertemulah alam biasa dan alam
gaib, hidup dan mati, tuhan dan manusia. Candi Kalasan belum begitu jelas
apakah sebagai tempat kediaman para dewa ataukan tiruan dari gunung Meru.
Stupa-setuapa yang ada di atap candi merupakan hiasan semata dan bukan benda
pemujaan yang mejadi hal yang paling penting dalam agama Buddha (sebagai tempat
menyimpan benda-benda suci, terutama dari sang Budha sendiri). Namun dalam perkembagannya
stupa tersebut berfungsi sebagai tanda peringatan atau lambang dari agama
Buddha.
Keunikan lainnya ialah terdapatnya ceruk pada
setiap dinding candi dengan tinggi ceruk dengan hiasan ukir-ukiran diatasnya
hampir sama tinggginya. Fungsi dari ceruk dan ukir-ukiran ini ialah memberikan
kesan agar candi napak lebih langsing. Dalam candi Kalasan bentuk sugkup merupakan kekecualian, karena berbeda
dengan candi lainnya dimana pembanguan candi sedemikain rupa sehingga
mengakibatkan sungkup bertemu di sisi atas candi. Namun di Candi Kalasan
terdapat lengkungan diatas ceruk-ceruk. Namun pada dasarnya pembangunan candi
sama dengan pembangunan candi yang lainnya, dimana batu disusu dimana semakin
keatas semakin menjorok kedalam (teknik susun timbun).
Keunikan lain ialah pada kaki candi dimana kita akan melihat Djambangan (pengganti Bonggol) sebagai perlambang dari kesuburan dan
kebahagiaan. Dari dalam jembangan terlihat seakan-akan memuntahkan bunga-bunga
dan sulur-sulur. Boggol berbentuk bulat sedangkan jembangan juga berbentuk
bulat sehingga dalam hal ini keberadaannya dapat saling menggantikan. Tempat
menjulurnya sulur-sulur selain dari bonggol atau djambangan juga terdapat pada
kerang, kura-kura, ikan, ular, gambar orang, dua ekor kera, ketan, Burung,
Babi, Sapi, atau rusa yang semuanya digambar sedemikian rupa sehingga berbentuk
bulat. Sulur-sulur yang ada di candi Kalasan melingkar-lingkar menjadi Sukur
gelung dan di Candi Kalasan berpangkal kepada Bonggol.
Kepala Kalanya, berbeda dengan kala pada candi lainnya dimana
bersatu dengan makara yang terdapat pada kedua sisi pintu. Makara ialah seekor
binatang Ajaib, di Jawa Tengah digambarkan menyerupai Gajah. Bentuk ini tiada
lain setelah menempuh perjalanan panjang dari kesenian India kurang lebih 200
Tahun SM. Dimana dahulu kala digambarkan menyerupai seekor buaya, yang
mula-mula digambarkan dengan ekor lurus, kemudian dengan ekor melingkar,
kemudian dalam perkembangan selanjutnya menyerupai binatang-binatang yang
serupa dengan Gajah yang bertubuh ikan (gajahmina), walau fungsi dan tujuan
makara tersebut belum begitu jelas maksud dan tujuannya. Makara di India bagian
Selatan digambarkan dengan binatang buas yang mulutnya menganga, belalainya
melingkar dan ekornya bermalai besar sekali. Di Jawa Tengah yang tinggal hanya
bentuk kepalanya saja dan kadang kala dengan kedua kaki depannya. Candi kalasan
memiliki relief makara baik di ujung lengan tangga baik yang berupa ukiran
maupun yang bulat mempunyai sekor singa yang duduk didalam mulutya yang
menganga lebar. Dilain candi di mulut Makara terdapat burung Nori atau
manusia. Pada belalai makara terdapat gambar bunga, dan dari bunga ini
bergantung seuntaian mutiara, dengan telinga yang sama sekali tidak menyerupai
telinga gajah, namun lebih mirip telinga sapi yang pinggirnya berkumai seperti
daun tumbuh-tumbuhan.
Bentuk makra di Candi Kalasan juga berganti wujud menjadi
Garis-garis lekak lengkung dan berlingkar-lingkar seperti daun-daun dan
sulur-sulur. Bentuk makaranya hanya tinggal dalam garis kelilingnya serta
beberpa garis besarnya saja. Bentuk ini terdapat pada hiasan kepala Makara di
Bagian candi sebelah selatan, jengger Kala terdiri atas timbunan kuncup-kuncup,
daun-daun, sulur-sulur. Dibawah kepala Kala terdapat kembali jengger yang
serupa. Dimana tjeplok bunga yang menjadi penggantinya. Di Candi Kalasan
merupakan bukti bahwa pertukaran bentuk relief dimungkinkan terjadi atas dasar
persamaan sifat. Sehingga kiranya tidak menjadikan janggal jika ada teratai
tumbuh dari beggol atau dari daun-daun yang aneh bentuknya.
Kepala Kala tidak hanya berhubungan dengan pohon-pohonnya diatas
dunia saja, tetapi juga dengan pohon-pohon yang lebih tinggi tingkatanya
(kayangan). Hal ini dijelaskan dalam hiasan gumpalan-gumpalan awan yang
mengelilingi Jengger kala, sedangkan diatas awan nampak penghuni kayangan yang
memainkan bunyi-bunyian. Dantara bunyi-bunyian tersebut dapat kita kenali
seperi Gendang, Rebab, dan kerang, baik disisi kana maupun disisi kiri,
sedangkan orang keempat memegang tjambuk penghalau lalat.
Bentuk makara yang tidak lazim di Jawa ialah pada bawah kala
dimana makara pada dua tiap sisi dimana yang satu menjadi ujung plengkung dan
menghadap ke dalam, sedangkan yang kedua bertolak belakang dengan yang pertama
dan menghadap keluar. Diatas makara terdapat kala yang menghadap keluar.
Keindahan candi dari segi kehaluasan relief tidak lain ialah hasil kerjakeras
dari Bajralepa. Deretan
makhluk kecil yaitu makluk kayangan yang bertubuh kerdil dan bernama Gana
menambah semakin uniknya candi Kalasan. Gana menjadi satu dengan untaian bunga
yang merupakan sebuah pasangan yang menjadi suatu ragam indah dari hiasan
pendukung untaian. Ragam hias ini sudah sejak dahulu kala diambil oleh kesenian
Hindia awal dari kesenian Yunani-Romawi, dan kemudian menjadi lazim dalam seni
hias India, seperti Untaian bunga yang didukung oleh makhluk kerdil,
kantong-kantong uang yang membujur panjang, deretan relung dengan arca Buddha
di dalamnya. Gana di candi Kalasan terkesan berdiri sendiri dan tidak mendukung
untaian bunga dimana terlihat mereka terdapat pada bingkai tersendiri, dan
melayang tidak satu arah dan beberapa menunjang rangkaian bunga diatsnya dengan
satu tangan saja.
Relief candi Kalasan memang lebih sedikit tidak seperti candi
Prambanan atau Borobudur. Semua arca buddha yang ada di candi Kalasan
melukiskan para Dhyani Budda/Djina (dewa-dewa khayangan), dewa-dewa tertinggi
di dalam mytologi agama Buddha, yang dihubungkan dengan empat penjuru mata
angin serta zenith. Arca-arca yang ada di luar cadi yang ada di bilik utara dan
selatan, dan juga pada dinding segi delapan bagian pusat atap candi hanyalah
arca relief saja, yang dapat kita sebut sebagai arca tokoh-tokoh dari dunia
kedewaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar